Yakabus menjelaskan, Indikator dialog yang tidak tuntas dan belum CLEAN AND CLEAR sebenarnya ada banyak, namun pihaknya hanya mengajukan dua contoh kongkrit saja, yakni:
Pertama, pada tanggal 11 Nopember 2016 Bupati Sikka mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 444/HK/2016 tentang Tim Terpadu Identifikasi dan Verifikasi terhadap Masyarakat Tana Ai yang Menduduki Tanah Nagara EX Hak Guna Usaha PT. Krisrama di Nangahale. Namun selanjutnya SK ini tidak mau dilaksanakan hingga tuntas dengan alasan yang tidak jelas. Masyarakat Adat tertipu.
Baca Juga:
KHLK: Industri Pelet Kayu Gorontalo Berpotensi Gantikan Batubara untuk Listrik
Kedua, pada tanggal 6 April 2020, kembali Bupati Sikka mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 134/HK/2020 tentang Tim Terpadu Penyelesaian Tanah Eks Hak Guna Usaha Nangahale. Namun SK ini – pun bernasib sama. Disosialisasikan dan dipertengahan jalan ditelikung oleh Bupati Sikka dan Bapak Uskup Maumere dan seterusnya mengbaikannya. Masyarakat Adat tertipu lagi.
Dua Surat Keputusan Bupati ini sebut Yakobus, sejatinya menempatkan Masyarakat Adat sebagai pihak (stakeholder) dalam mencari jalan keluar penyelesaian konflik HGU karena Masyarakat adat adalah subyek hukum yang telah menduduki sebagian lahan tanah negara bekas HGU tersebut.
Masyarakat Adat diposisikan sebagai pihak yang diperlukan persetujuannya dalam pemanfaatan tanah negara bekas HGU, ketika PT. Krisrama hendak mengajukan usulan Pembaruan HGU.
Baca Juga:
Menteri ATR/BPN AHY Sebut Anggaran Tambahan 2024 untuk Program Kementerian
Namun sekali lagi, semua ini hanya harapan palsu, Masyarakat Adat terus saja tertipu. SK tersebut tidak mau dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan PT. Krisrama hingga tuntas, pungkas Yakobus.
Cacat Administrasi