"Ruang hidup warga semakin sempit, semakin setengah mati mereka hidup, tiba-tiba perusahaan dibawa masuk. Kan sangat tidak adil.
"Sebelum Taman Nasional Komodo terbentuk kan mereka sudah lama tinggal di pulau itu," kata Venan.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
Di satu sisi kedatangan UNESCO dan IUCN ini membuat Venan dan pihaknya berharap banyak oleh badan dunia yang mengurus status warisan dunia itu.
Dia menunggu cara UNESCO menyelesaikan protes yang sudah disuarakan warga dan para pegiat lingkungan dalam beberapa tahun terakhir.
"Jadi seperti apa caranya dia untuk mengingatkan pemerintah Indonesia. Kalau bisa harus tegas." Kata Venan berharap.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Namun di sisi lain, Venan juga diliputi kecemasan. Pasalnya, respons UNESCO terhadap laporan dari warga sejak 2020 lalu, terkait pembangunan di Pulau Rinca dan konsesi perusahaan swasta, dinilai sangat terlambat.
"Respons dia tahun 2021. Secara timing datang terlambat responsnya, pembangunan di Rinca sudah hampir selesai, lalu kemudian juga tidak semua poin-poin kita direspons secara jelas.
"Misalnya konsesi perusahaan swasta itu tidak secara eksplisit memberikan kepada kita soal standing position-nya dia terhadap perusahaan-perusahaan swasta," ujar Venan.