WahanaNews-NTT | Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) Maumere bersama Jaringan HAM Sikka mendatangi Mabes Polri guna mendesak dan mengusut tuntas Kasus 17 anak korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Dalam release yang diterima WahanaNews, Rabu (30/03/2022) TRUK Maumere dan Jaringan HAM Sikka menyampaikan alasan mendatangi Mabes Polri lantaran Polda NTT dan Polres Sikka terkesan tidak mampu atau kurang termotivasi untuk menangani kasus ini hingga tuntas.
Baca Juga:
Polresta Barelang Tangkap Tersangka TPPO dan Gagalkan Pengiriman PMI Ilegal Melalui Pelabuhan Internasional Batam
Dalam rilis tersebut dijelaskan bahwa setelah 9 bulan berjalan, sejak Juni 2021 hingga maret 2022 penanganan kasus 17 anak korban TPPO yang dirazia oleh Polda NTT pada tanggal 14 Juni 2021 dan dititipkan di Shelter Santa Monica TRUK untuk pendampingan tak kunjung selesai.
Dari keterangan selama proses pendampingan, TRUK dan Jaringan HAM Sikka berkeyakinan bahwa kasus ini adalah bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Hilangnya 4 dari 17 anak ini secara misterius dari shelter pada tanggal 27 Juni 2021, membuat pihak TRUK dan Jaringan HAM semakin yakin tentang adanya jaringan di belakang kasus ini.
Baca Juga:
Resmob Polda Sulut Tangkap Tiga Terduga Pelaku Perdagangan Orang di Manado
Peristiwa ini sudah dilaporkan TRUK kepada pihak Polda NTT dan Polres Sikka namun hingga saat ini keempat anak tersebut belum juga ditemukan.
Sejak awal TRUK bersama Jaringan HAM Sikka berjuang mengadvokasi kasus ini. Segala upaya telah dilakukan oleh TRUK dan jaringan HAM Sikka, dari bersurat, meminta audiensi dengan Pemerintah Kabupaten Sikka maupun APH yang ada di Sikka hingga melakukan aksi damai pada tanggal 2-3 November 2021.
Aksi ini dilakukan di empat titik; di Polres Sikka, Kajari Sikka, DPRD Sikka dan Bupati Sikka dengan tuntutan agar kasus ini segera dituntaskan seturut peraturan perundang-undangan yang berlaku, 4 anak yang telah melarikan diri dari Shelter St Monika dicari dan ditemukan, serta sindikat perdagangan orang dibongkar.
Proses penanganan hukum untuk kasus ini hingga kini belum diselesaikan. Baru 1 tersangka yang di proses hukum dengan menggunakan UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO.
Akibatnya, proses hukum hanya berjalan untuk terduga pelaku dari Pemilik PUB Bintang dan Sasari yaitu (R) dengan menggunakan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, sementara untuk dua terduga pelaku lainnya yaitu pemilik PUB Libra (satu Korban) dan pemilik PUB 999 (Triple Nine) 3 korban belum tersentuh hukum sama sekali. Bahkan mereka masih dengan leluasa membuka PUB-nya.
Alasan mendasar yang selalu didapatkan dari penjelasan Polisi secara berulang-ulang dalam waktu yang lama, bahwa proses hukum terhadap kedua pemilik PUB ini belum bisa dilakukan karena masih kurang alat bukti. Hilangnya 4 korban sebagai saksi kunci tersebut adalah penyebab utamanya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa situasi ini tidak boleh dibiarkan terlalu lama. Polda NTT dan Polres Sikka terkesan tidak mampu atau kurang termotivasi untuk menangani kasus ini hingga tuntas.
Oleh karena itu TRUK dan Jaringan HAM di Sikka mengambil sikap tegas dan jelas yakni melakukan advokasi ke tingkat nasional agar institusi Kepolisian secara hirarkis (Mabes Polri) dapat terlibat aktif dalam penanganan kasus ini dan Komisi III DPR RI sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia turut memantau dan mengawas kinerja pihak APH dalam menuntaskan kasus ke 17 anak ini.
Untuk itu, dalam rangka menuntaskan kasus ini TRUK Maumere dan Jaringan HAM mendatangi Mabes Polri dan mendesak agar kasus ini diambil alih oleh Polri, terutama atas 4 anak yang hilang/melarikan diri dari Shelter Santa Monika yang berhubungan langsung dengan terduga pelaku yakni, Pemilik PUB Libra dan Pemilik PUB 999.
Terhadap laporan yang disampaikan, Mabes Polri memberikan tanggapan yang serius bahwa akan melakukan asistensi ke NTT dan akan mengawal, membackup kasus ini agar kasus ini pasti dapat diselesaikan.
Selain mendatangi Mabes Polri TRUK dan Jaringan HAM Sikka mendatangi Komisi III DPR-RI dan meminta untuk melakukan pengawasan khusus terhadap Polri atas penanganan kasus TPPO di Sikka.
Dalam RDPU, Tim menyampaikan aspirasi dan permohonan kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan dan kontrol terhadap penegakan hukum dan hak Asasi Manusia dan meminta Komisi III DPR RI untuk melakukan pengawasan dalam penegakan hukum kasus 17 anak ini bermitra dengan Mabes Polri agar kasus ini harus dituntaskan sesuai fakta hukum dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Tim juga meminta agar sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengawasan, memberikan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja kerja polisi di daerah khususnya di Polres Sikka dan Polda NTT pada umumnya.
Terhadap aspirasi ini, Komisi III DPR RI memberikan jawaban bahwa akan melakukan Rapat Koordinasi dengan Mabes Polri dan menyampaikan kepada Mabes Polri agar kasus ini menjadi perhatian dan ditangani secara serius karena persoalan Human Trafficking di NTT cukup tinggi.
Terhadap seluruh perjuangan ini, Tim berharap sungguh-sungguh sindikat TPPO anak ini dapat dibongkar dan menjadi pintu masuk untuk membongkar kejahatan perdagangan orang di NTT yang selama ini terkesan tidak tuntas dalam penegakan hukumnya dan kami akan tetap mem-followup pada pihak-pihak yang telah kami datangi.
Kerena itu, dibutuhkan kerja sama semua pihak baik itu lembaga-lembaga Negara, Jaringan LSM nasional dan lokal serta Media untuk secara saksama dengan caranya masing-masing mendukung dan pengawal proses penanganan kasus ini oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga penindakan. [dny]