“Sebetulnya saya ingin agar semakin banyak bahkan semua masyarakat bisa menyadari hak dan kewajibannya untuk mengawasi jalannya pembangunan di desa mereka masing-masing,” ungkap Romo Zakarias.
Dia menambahkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, ketika dirinya meminta APBDes untuk diawasi maka sejak saat itulah mulai terjadi polemik-polemik berkepanjangan hingga saat ini.
Baca Juga:
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur Alokasikan 10 Persen Dana Desa dari APBD 2024
Inti masalahnya adalah, keterbukaan dan transparansi APBDes agar bisa diawasi. APBDes yang selama ini terkunci rapat, seolah-olah “barang sakaral” dan dokumen rahasia yang tidak bisa diakses oleh warga masyarakat, lanjut Romo kembali mengisahkan peristiwa bagaimana ia harus berjuang untuk mendapatkan APBDes dari para kepala desa.
Bahkan setelah dia dan MPD mencoba untuk mengawasi APBDes yang diberikan itu, terjadi penolakan, intimidasi, diteror, diancam dan lebih dari itu dianggap sebagai musuh, pungkas Romo.
Dikatakan bahwa, hal ini menambah beban dan kesulitan untuk melaksanakan fungsi kepengawasan.
Baca Juga:
Kemenkeu Apresiasi Pemanfaatan Dana Desa di Sumedang
“Beban bertambah berat karena para BPD di desa tidaklah kooperatif dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik,” kata Romo.
Lebih lanjut, pihaknya mendapat kesan bahwa BPD tidak tahu dengan baik apa yang harus dikerjakan, bahkan masyarakat yang menyebutkan bahwa BPD bukanlah Badan Permusyawaratan Desa tetapi “Badan Penganggur Desa” dan juga “Badan Perusak Desa”.
Hal-hal inilah yang membuat pembangunan di Kecamatan Tanawawo terkesan jalan ditempat dan masyarakat semakin sengsara dan menderita walaupun kucuran dana desa bernilai miliaran rupiah.