WahanaNews-NTT | Koordinator Pengrajin Anyaman, Fransiskus Randis, dari Desa Bu Utara, Kecamatan Tanawawo, Kabupaten Sikka mengatakan bahwa pengrajin anyaman membutuhkan training atau pelatihan serta pendampingan agar produk anyaman bisa menjadi bernilai ekonomis.
Hal ini disampaikan langsung oleh Fransiskus pada webinar bertajuk:"Quo Vadis Anyaman NTT: Upaya Melestarikan dan Memberdayakan Pengrajin” dengan topik: “Kerajinan Anyaman dan Destinasi Wisata Anyaman” yang digelar Rabu 26 Oktober 2022 hasil kerja sama Rana House NTT dengan DPP Majelis Umat Kristiani Indonesia (MUKI).
Baca Juga:
Robi Idong, Pemimpin Pemberani Ditengah Krisis
Ia mengatakan, pelatihan yang diharapkan seperti pelatihan untuk pembuatan pewarna alami. Selain itu kesulitan yang dialami kelompoknya adalah tidak punya pasar untuk memasarkan produk anyaman.
“Jadi kegiatan anyaman hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan seremonial saja,” ujarnya.
Selain itu Frans juga berharap agar budidaya kembali tanaman lontar, pandan dan lainnya yang sudah mulai punah sehingga pengrajin tidak mengalami kesulitan mendapatkan bahan dasar anyaman.
Baca Juga:
Gara-Gara Jaringan Internet, Puluhan Siswa SD di Doreng Jalani ANBK di Pusat Kota Maumere
Sementara Ruthvina Ance Silalahi, Koordinator Kema Sama, Kelompok Pengrajin Anyaman Lio Utara dan Magepanda juga mengaku mengalami kendala yang sama. Pengrajin anyaman masih melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan ritual adat saja dan saat ini sudah mati suri.
Kata Ance Silalahi, anyaman tidak mempunyai nilai ekonomis, bentuk anyaman yang kurang menarik dan itu-itu saja tanpa inovasi. Rana House NTT diharapkan dapat menggiatkan kembali anyaman dan bersama-sama melestarikan.
“Butuh pendampingan, pelatihan pengrajin anyaman sehingga anyaman dapat dijadikan sebagai mata pencaharian dan masyarakat tidak perlu lagi mencari pekerjaan di luar daerahnya lagi,” tandas Ance Silalahi.