WahanaNews-NTT | Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementrian Agama (Kemenag) adakan pengajuan sertifikasi halal secara gratis bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
Sertifikasi halal tersebut dalam rangka Program Sehati yang diluncurkan pada 2021 dan baru dimulai pada Maret 2022 ini.
Baca Juga:
Kapolda Gelar Halal Bihalal di Momen Idul Fitri Bersama Personel Polda Sulteng
“Program Sehati (Sertifikasi Halal Gratis) akan kita mulai Maret ini sampai Desember 2022. Berlaku sepanjang tahun. Bagi UMK yang mendaftar akan mendapatkan prioritas,” ujar Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham, pada Sabtu (19/3/2022), dikutip dari laman Kemenag.
BPJPH menyiapkan 25 ribu kuota bagi pelaku UMK yang memenuhi syarat bisa melakukan pernyataan mandiri kehalalan produknya atau self-declare.
Lantas, apa saja syarat mendapat sertifikasi halal gratis?
Baca Juga:
Uji Makanan dan Minuman: Perlindungan Konsumen Saat Bulan Ramadhan
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Matsuki mengatakan, UMK yang dikenakan biaya Rp 0 harus berkategori “dapat melakukan pernyataan mandiri untuk sertifikasi halal” atau yang lebih dikenal self-declare.
Kategori self-declare sendiri meliputi sejumlah kriteria khusus, seperti produk-produknya sederhana dan tidak berisiko, serta proses produksi menggunakan bahan yang dapat dipastikan kehalalannya.
“Tentu ada ikrar atau akad lainnya dan ada persyaratan lainnya. Itu dilakukan verifikasi oleh pendamping-pendamping yang telah melalui pelatihan secara khusus,” kata Matsuki.
Terkait syarat self-declare, telah tercantum dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor 33 Tahun 2022 tentang Juknis Pendamping Proses Produk Halal dalam Penentuan Kewajiban Bersertifikat Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil yang Didasarkan atas Pernyataan Pelaku Usaha.
Berikut syarat sertifikasi halal gratis bagi pelaku UMK kategori self-declare, dilansir dari laman Kemenag:
1. Produk tidak berisiko atau menggunakan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya.
2. Proses produksi yang dipastikan kehalalannya dan sederhana.
3. Memiliki hasil penjualan tahunan (omset) maksimal Rp 500 juta yang dibuktikan dengan pernyataan mandiri.
4. Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).
5. Memiliki lokasi, tempat, dan alat Proses Produk Halal (PPH) yang terpisah dengan lokasi, tempat, dan alat proses produk tidak halal.
6. Memiliki atau tidak memiliki surat izin edar (PIRT/MD/UMOT/UKOT). Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk produk makanan/minuman dengan daya simpan kurang dari 7 (tujuh) hari, atau izin industri lainnya atas produk yang dihasilkan dari dinas/instansi terkait.
7. Memiliki outlet dan/atau fasilitas produksi paling banyak 1 (satu) lokasi.
8. Secara aktif telah berproduksi 1 (satu) tahun sebelum permohonan sertifikasi halal.
9. Produk yang dihasilkan berupa barang (bukan jasa atau usaha restoran, kantin, catering, dan kedai/rumah/warung makan).
10. Bahan yang digunakan sudah dipastikan kehalalannya. Dibuktikan dengan sertifikat halal, atau termasuk dalam daftar bahan sesuai Keputusan Menteri Agama Nomor 1360 Tahun 2021 tentang Bahan yang Dikecualikan dari Kewajiban Bersertifikat Halal.
11. Tidak menggunakan bahan yang berbahaya.
12. Telah diverifikasi kehalalannya oleh pendamping proses produk halal.
13. Jenis produk/kelompok produk yang disertifikasi halal tidak mengandung unsur hewan hasil sembelihan, kecuali berasal dari produsen atau rumah potong hewan/rumah potong unggas yang sudah bersertifikasi halal.
14. Menggunakan peralatan produksi dengan teknologi sederhana atau dilakukan secara manual dan/atau semi otomatis (usaha rumahan bukan usaha pabrik).
15. Proses pengawetan produk yang dihasilkan tidak menggunakan teknik radiasi, rekayasa genetika, penggunaan ozon (ozonisasi), dan kombinasi beberapa metode pengawetan (teknologi hurdle).
16. Melengkapi dokumen pengajuan sertifikasi halal dengan mekanisme pernyataan pelaku usaha secara online melalui SIHALAL. [dny]