WahanaNews-NTT | Dihadapan Bupati Sikka Romo Zakarias dan MPD membeberkan beberapa hal yang dijumpai dan dialami ditengah masyarakat yang terkesan menghambat jalannya proses pembangunan di Kecamatan Tanawawo.
Hambatan-hambatan tersebut disampaikan dalam beberapa poin saat menemui Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo (Robi Idong) di kediamannya, Senin (20/06/2022) petang.
Baca Juga:
Melalui Survei Mawas Diri, 74 Mahasiswa Akper Lela Lakukan KKN-PKM di Desa Renggarasi
Pertama, para kades dan BPD terkesan tidak tahu dan tidak bekerja sesuai peraturan perundang-undangan, terutama UU No. 6 tahun 2014.
Menurut dia, banyak hal dibuat berdasarkan kemauan para kades. Tunjangan untuk aparat desa dan BPD sekitar Rp 600 juta per masing-masing desa, tetapi kinerjanya sangatlah minim. Asas manfaat bagi masyarakat spertinya tidaklah sebanding dengan jumlah aparat yang begitu banyak dan dana yang disedot sekian besar.
Kedua, MUSRENBANGDUS yang begitu penting tidak melibatkan semua warga masyarakat. Banyak anggota MPD yang tidak tahu sama sekali karena tidak mendapatkan informasi dan undangan dari aparat desa.
Baca Juga:
Pengrajin Anyaman di Sikka Butuh Pendamping Pemasaran
Ketiga, prioritas usulan daru MUSRENBANGDUS seringkali hilang dalam APBDes, sehingga sialah usulan dari masyarakat. Yang muncul justru adalah kebijakan dan program pribadinya kades.
Keempat, APBDes selama bertahun-tahun ini tidak pernah terbuka dan transparan kepada masyarakat agar bisa diawasi. APBDes menjadi dokumen rahasia dari kades dan aparatnya.
Kelima, baliho yang dipasang hanyalah baliho umum ataupun judulnya saja, tidak pernah dipasang baliho perincian dan baliho realisasi.
Keenam, informasi penyelenggaraan pembangunan secara tertulis tidak pernah diberikan kepada masyarakat di setiap akhir tahun anggaran (Bdk. UU No. 6 tahun 2014, Pasal 27d).
Ketujuh, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dari kades kepada BPD dan masyarakat sesuai dengan proses peraturan yang berlaku jarang, bahkan tidak dilaksanakan sama sekali (Bdk. Pasal 27c UU No. 6 tahun 2014).
Ada beberapa desa (Detubinga, Bu Watuweti dan beberapa lainnya) yang tidak membuat LKPJ tahun 2021. Anehnya, bahwa APBDes tahun berikutnya sudah ditetapkan dan bahkan dananya sudah dicairkan. Hal ini sungguh aneh, tapi nyata, ungkap Romo.
Kedelapan, dari hal-hal tersebut diatas, munculah beberapa pertanyaan dari masyarakat dan MPD, dimanakah peran camat dengan tugas pembinaan dan pengawasannya? Dimanakah peran dan tugas pendamping desa?
Terhadap persoalan ini, Romo meminta agar Camat dan Pendamping Desa untuk bisa Live In ditengah masyarakat paling terpencil dan mengecek realisasi kebenaran pengelolaan anggaran.
“Omongan boleh bagus sekali, tetapi kenyataannya di masyarakat berbanding terbalik, alias nol besar,” sebut Romo Zakarias.
Untuk itu agar kedepannya bisa menjadi lebih baik Romo dan MPD memberikan saran dan berharap untuk bisa dipertimbangkan dan dilaksanakan yakni;
Pertama, dibutuhkan seorang camat dan pendamping desa yang benar-benar melaksanakan tugasnya dengan setia sebagai pendamping, Pembina dan pengawas para kades dan BPD agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terutama UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa.
Kedua, semua masyarakat/MPD perlu dilibatkan dalam proses mulai dari Musrenbangdus hingga Musrenbangdes sampai dengan penetapan APBDes. Sebelum penetapan, APBDes haruslah disosialisasikan kepada masyarakat di setiap dusun.
Ketiga, APBDes harus diberikan sebanyak sat eksemplar kepada masyarakat/MPD sabagai dasar pedoman untuk mengawasi.
Keempat, harus dipasang baliho perincian dan baliho realisasi dari setiap bidang pembangunan sesuai APBDes.
Kelima, harus memberikan informasi penyelenggaraan pembangunan secara tertulis kepada masyarakat, sebelum LKPJ kades kepada BPD dan masyarakat (Bdk. Pasal 27 d UU No. 6 tahun 2014).
dan Keenam, harus melibatkan masyarakat/MPD pada saat dilakukan LKPJ kades kepada BPD/masyarakat (Bdk. Pasal 27c UU No. 6 tahun 2014). [frs]