NTT.WAHANANEWS.CO - Masuknya listrik ke Dusun Kiku Wanggarara, Kabupaten Sumba, Nusa Tenggara Timur, bukan sekadar cerita tentang kabel, tiang, dan jaringan.
Lebih dari itu, listrik menjadi titik balik sosial yang mengubah satu hal paling mendasar dalam kehidupan anak-anak desa: malam hari.
Baca Juga:
Ketika Angka Nasional Menyala di Desa: Listrik dan Pembuktian Janji Presiden
Selama puluhan tahun, malam di dusun ini identik dengan keterbatasan. Anak-anak bergantung pada lampu minyak yang redup dan tak selalu tersedia.
Saat hujan turun atau minyak habis, proses belajar pun ikut padam. Bukan karena kurang semangat, tetapi karena waktu belajar mereka dibatasi oleh gelap.
“Kalau minyak lampu habis, anak-anak tidak bisa belajar sama sekali. Malam jadi benar-benar gelap,” tutur Kepala Dusun Kiku Wanggarara, Yustinus Dapa Umbu, mengenang kondisi sebelum listrik masuk.
Baca Juga:
Listrik untuk Semua: PLN UP3 Cimahi Jadi Pusat Koordinasi Percepatan Elektrifikasi Desa.
Kini, listrik negara mengubah situasi itu secara perlahan namun nyata. Lampu yang menyala di rumah-rumah warga bukan hanya penerangan fisik, melainkan penambahan jam hidup bagi anak-anak desa. Malam hari tak lagi menjadi batas, melainkan kesempatan.
“Sekarang anak-anak bisa belajar malam hari tanpa takut hujan atau lampu mati,” kata Yustinus sambil menunjuk lampu listrik yang menggantung di rumah warga.
Dalam konteks ini, Program Listrik Perdesaan (Lisdes) 2025 tidak hanya dapat dibaca sebagai proyek infrastruktur, melainkan sebagai intervensi negara terhadap ketimpangan waktu belajar.