Di sebuah ruang operasi sederhana di Rumah Sakit Santa Elisabeth Lela, Maumere, suara instrumen medis terdengar ritmis. Jumat pagi, 5 Desember 2025, menjadi momentum penting bagi puluhan keluarga dari berbagai kabupaten di Flores. Di balik pintu operasi itu, tiga dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi dan estetik dari tiga rumah sakit besar Indonesia bekerja dalam satu misi: memulihkan senyum, suara, dan masa depan anak-anak dengan bibir sumbing dan celah langit-langit.
Mereka adalah Dr. dr. Parintosa Atmodiwirjo, Sp.B.P.R.E., Subsp.M.O.(K) dari RS Persahabatan Jakarta; dr. Erythrina Permata Sari, Sp.B.P.R.E., Subsp.M.O.(K) dari RSCM Jakarta; dan dr. Williams Imanuel Mesang, Sp.B.P.R.E., M.Ked.Klin dari RS Ben Boi Kupang. Tiga nama yang reputasinya dikenal luas dalam dunia bedah plastik di Indonesia, kini berada jauh dari pusat layanan kesehatan modern, hadir untuk sebuah panggilan kemanusiaan.
Baca Juga:
PLN UP3 Rantauprapat Beri 70 Paket Sembako Bagi Keluarga Miskin dan Bangun Sumur Bor Masjid
Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Yayasan Permata Sari, Yayasan Santa Elisabeth Lela, Koperasi Swasti Sari, dan Pemerintah Kabupaten Sikka. Selama tiga hari, 4–6 Desember 2025, mereka menangani 26 pasien dari daerah Sikka, Ende, Ngada, Nagekeo, Flores Timur, hingga Lembata.
Mengapa Operasi Ini Penting? Suara dari Lapangan
Dalam sambutannya, Kepala RS Santa Elisabeth Lela, dr. Bernadina Sada Nenu, menegaskan bahwa operasi bibir sumbing bukan sekadar tindakan perbaikan bentuk wajah. Jauh lebih kompleks dari itu, tindakan ini menyentuh inti kualitas hidup seseorang.
Baca Juga:
Kejatisu Donorkan Darah
“Ini tentang makan, minum, berbicara, mendengar—fungsi dasar manusia yang sering tidak kita sadari pentingnya,” ujarnya. Tanpa tindakan medis yang tepat, banyak anak mengalami gangguan bicara, kesulitan menyusu, infeksi telinga berulang, hingga hambatan tumbuh kembang.
Di sisi lain, dampak sosial dan psikologis tidak bisa diabaikan. Bernadina menyebut bahwa banyak anak penderita bibir sumbing tumbuh dengan rasa malu, menarik diri dari lingkungan, bahkan mengalami stigma sosial yang kerap muncul dari kesalahpahaman masyarakat.
“Operasi ini bukan hanya tentang mengembalikan bentuk. Ini tentang mengembalikan tempat mereka di tengah masyarakat,” katanya.