Di sisi lain, digitalisasi yang cepat dan terbuka telah menjadi pedang bermata dua bagi para jurnalis.
Selain memberikan akses yang lebih mudah bagi jurnalis untuk mendapatkan keterlibatan yang lebih luas dan perhatian publik, namun dapat juga membuka celah untuk ancaman dan serangan.
Baca Juga:
Dewan Pers dan 3 Capres-cawapres Tandatangani Komitmen Kemerdekaan Pers
Laporan Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) 2021 mengklaim serangan signifikan terhadap jurnalis di ranah digital terjadi selama pandemi.
Anggota sekaligus Ketua Komisi Hukum dan Perundang – Undangan Dewan Pers menyatakan bahwa perlindungan jurnalis tidak hanya dari yang bersangkutan tapi juga peran perusaahaan, organisasi, Dewan Pers, para pemangku kepentingan serta aparat penegak hukum untuk memahami fungsi dan tugas kerja jurnalis.
Kekerasan juga dialami oleh jurnalis perempuan. Hasil survey yang dilakukan oleh PR2Media pada tahun 2021 menyatakan bahwa dari sebanyak 1.077 pernyataan jurnalis perempuan (85.7%) pernah mengalami kekerasan sepanjang karir jurnalistik mereka baik di ranah digital dan ranah fisik.
Baca Juga:
Capres Prabowo Bicara Kebebasan Pers dan Ekonomi Pancasila di Kantor Pusat PWI
“Jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia trennya tidak pernah menurun. Berbagai bentuk kekerasan semakin masif dilakukan, mulai dari kekerasan fisik, non fisik, hingga serangan siber. Dampaknya juga sangat besar, terutama bagi para jurnalis perempuan," jelasnya.
Selain diserang karena profesinya, mereka juga kerap ditarget karena gendernya” Menurut Nenden (Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet dan Sekretaris KKJ),
Yayasan TIFA mengharapkan kerjasama dan dukungan semua pihak untuk upaya perlindungan terhadap jurnalisme demi terjaganya kebebasan pers dan demokrasi.