WahanaNews-NTT | Dalam rangka Kebebasan Berekspresi dan Keamanan Jurnalis di Indonesia, Yayasan Tifa bersama Human Rights Working Group (HRWG) dan Perhimpunan Pengembangan Media Nasional (PPMN) yang didukung oleh Kedutaan Belanda (The Embassy of The Kingdom of The Netherlands) menggagas Program Jurnalisme Aman.
Melalui Rilis yang diterima WahanaNews.co, Selasa (12/04/2022) menjelaskan, Program ini didasari oleh fakta-fakta bahwa kebebasan pers dan kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia masih terjadi dengan jumlah kasus yang cukup tinggi. Data di situs Aliansi Jurnalis Independen menyebutkan ada 5 pengaduan kekerasan yang tercatat sepanjang Januari hingga awal April 2022.
Baca Juga:
Dewan Pers dan 3 Capres-cawapres Tandatangani Komitmen Kemerdekaan Pers
Kasus kekerasan terhadap jurnalis yang belum lama ini terjadi yakni Wartawan TV One, Asmar Benny yang dianiaya saat meliput okupasi lahan di Kecamatan Tanjung Morawa, Sumatera Utara pada akhir Maret dan Jurnalis INEWS TV, Andrew Woria dan Mesakh Yoberth Kamarea, dikeroyok sekitar 20 orang di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua pada 5 April lalu.
Jurnalis yang memiliki peran signifikan dalam menempatkan peristiwa sosial-politik dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di depan lensa, sehingga problem tersebut mendapat perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat, seringkali menjadi sasaran kekerasan atau pelanggaran HAM.
Eni Mulia (Direktur Eksekutif PPMN) mengatakan, “Program Jurnalisme Aman hadir untuk mencoba menciptakan suasana aman dan berkelanjutan bagi jurnalisme di Indonesia.
Baca Juga:
Capres Prabowo Bicara Kebebasan Pers dan Ekonomi Pancasila di Kantor Pusat PWI
Kebebasan pers sebagai bagian penting dari demokrasi masih terancam di Indonesia, dimana impunitas masih terjadi bagi para pelaku kekerasan jurnalis di masa lalu, sementara kasus-kasus yang baru menunjukkan hambatan kebebasan pers Indonesia saat ini.
Akademisi Fakultas Hukum UGM, Dr. Herlambang P. Wiratraman mengemukakan bahwa represi media kini tak sebatas pembungkaman, melainkan serangan dengan cara manipulasi, kontra narasi, menghambat hingga mendangkalkan informasi.
“Pula, tak sebatas penggunaan hukum, melainkan sistematik dan terencana menggunakan pasukan siber, buzzers, eksesif penggunaan wewenang kepolisian, bahkan aktor-aktor kunci di pemerintahan itu sendiri yang menyangkal," lanjutnya.
Di sisi lain, digitalisasi yang cepat dan terbuka telah menjadi pedang bermata dua bagi para jurnalis.
Selain memberikan akses yang lebih mudah bagi jurnalis untuk mendapatkan keterlibatan yang lebih luas dan perhatian publik, namun dapat juga membuka celah untuk ancaman dan serangan.
Laporan Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) 2021 mengklaim serangan signifikan terhadap jurnalis di ranah digital terjadi selama pandemi.
Anggota sekaligus Ketua Komisi Hukum dan Perundang – Undangan Dewan Pers menyatakan bahwa perlindungan jurnalis tidak hanya dari yang bersangkutan tapi juga peran perusaahaan, organisasi, Dewan Pers, para pemangku kepentingan serta aparat penegak hukum untuk memahami fungsi dan tugas kerja jurnalis.
Kekerasan juga dialami oleh jurnalis perempuan. Hasil survey yang dilakukan oleh PR2Media pada tahun 2021 menyatakan bahwa dari sebanyak 1.077 pernyataan jurnalis perempuan (85.7%) pernah mengalami kekerasan sepanjang karir jurnalistik mereka baik di ranah digital dan ranah fisik.
“Jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia trennya tidak pernah menurun. Berbagai bentuk kekerasan semakin masif dilakukan, mulai dari kekerasan fisik, non fisik, hingga serangan siber. Dampaknya juga sangat besar, terutama bagi para jurnalis perempuan," jelasnya.
Selain diserang karena profesinya, mereka juga kerap ditarget karena gendernya” Menurut Nenden (Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet dan Sekretaris KKJ),
Yayasan TIFA mengharapkan kerjasama dan dukungan semua pihak untuk upaya perlindungan terhadap jurnalisme demi terjaganya kebebasan pers dan demokrasi.
Melalui diskusi publik ini bisa menjadi langkah kecil untuk meningkatkan pemahaman pemangku kepentingan dan publik terhadap keselamatan jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia.
Secara internal, komunitas jurnalis Indonesia sesungguhnya terus berkonsolidasi dalam hal keamanan dan meluncurkan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) pada April 2019 untuk menanggapi rendahnya budaya keselamatan di kalangan Jurnalis.
Komite ini telah menunjukkan peran signifikannya dalam advokasi, kampanye, dan penanganan kasus keselamatan jurnalis.
Selanjutnya Yayasan TIFA akan mendorong berbagai upaya sistematis untuk memperbaiki kebijakan dan mekanisme penangangan pengaduan kekerasan terhadap jurnalis dan ekosistem kebebasan pers di Indonesia melalui kolaborasi dengan semua pihak. [frs-rilis]