WahanaNews-Labuanbajo | Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi memberikan pernyataan tegas, meskipun Indonesia tengah kalah gugatan oleh Uni Eropa di Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Indonesia diketahui kalah gugatan di WTO karena persoalan kebijakan pemerintah Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel ke luar negeri.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
Meski kalah gugatan nikel di WTO, Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi bahan mentah akan terus dilanjutkan.
"Kita dibawa ke WTO, baru dua bulan yang lalu kita kalah, tapi keberanian kita menghilirisasi bahan bahan mentah, itu lah yang akan terus kita lanjutkan, meskipun kita kalah di WTO," kata Jokowi dalam silaturahmi relawan Nusantara Bersatu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, Sabtu (26/11).
Yang paling penting, kata Jokowi, Indonesia harus menjadi negara berani dalam mengambil keputusan dan tidak takut atas tekanan dari negara lain. Dengan berani ambil keputusan, Indonesia diharapkan bisa menjadi salah satu dari lima besar negara dengan ekonomi terkuat pada 2045.
Baca Juga:
Polsek Bagan Sinembah Gelar Kegiatan Launching Gugus Tugas Polri dan Ketapang.
Seperti yang diketahui, Indonesia kalah gugatan di WTO oleh Uni Eropa. Hasil putusan panel WTO yang dicatat dalam sengketa DS 592 sudah keluar pada tanggal 17 Oktober 2022. Isinya: Memutuskan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Dalam final panel report tersebut juga berisi panel menolak pembelaan yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) sebagai dasar pembelaan.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif menyampaikan, keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap. Maka, Indonesia tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB).