WahanaNews-NTT | Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) merilis aturan baru soal remisi usai Mahkamah Agung (MA) membatalkan dan mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi terpidana tindak pidana khusus, seperti korupsi, terorisme dan narkoba.
Aturan baru remisi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan Ham (Permenkumham) Nomor 7 Tahun 2022.
Baca Juga:
Terkait Korupsi KA, Kejagung Periksa Tiga Mantan Kepala BTP Sumbangut
"Sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Agung Nomor 28 P/HUM/2021," kata Koordinator Humas dan Protokol Ditjepas Kemenkumham, Rika Aprianti dalam keterangannya, Minggu (30/1/2022).
Aturan remisi terbaru ini tidak menghilangkan syarat-syarat khusus dalam pemberian hak narapidana sesuai dengan PP Nomor 99 Tahun 2012. Remisi untuk narapidana terorisme, misalnya, tetap mensyaratkan pernyataan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia serta telah mengikuti program deradikalisasi.
Demikian juga dengan narapidana korupsi, hak remisi akan diberikan setelah membayar lunas denda dan uang pengganti.
Baca Juga:
Korupsi Tata Niaga PT Timah, 3 Eks Kadis ESDM Babel Dituntut 6 Hingga 7 tahun Penjara
"Dalam permenkumham ini mempersyaratkan untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi (pembebasan bersyarat, cuti bersyarat dan cuti menjelang bebas)," kata Rika.
Dikatakan, dalam pembahasan penyusunan dan penyelarasan perubahan permenkumham ini kementerian/lembaga terkait menyetujui dan mendukung rancangan perubahan dengan beberapa pengetatan untuk tindak pidana tertentu yang merupakan jenis tindak pidana luar biasa.
Namun perubahan itu dengan tetap memperhatikan bahwa pengetatan tersebut tidak boleh membatasi hak-hak narapidana.
"Penghilangan syarat justice collabolator dalam putusan MA menjadikan hal tersebut sebagai syarat pemberian hak, namun sebagai reward sesuai dengan UU nomor 31 Tahun 2014," katanya.
Rika menjelaskan, reformulasi remisi alasan kemanusiaan diberikan berdasarkan atas satu kategori dan pengaturan kembali tentang remisi tambahan.
Dipaparkan, dalam Permenkumham terbaru ini, dilakukan reformulasi terhadap usulan remisi yang terlambat karena syarat dan dokumen belum terpenuhi pada periode penyerahan remisi baik umum ataupun khusus keagamaan dengan menyisipkan pasal 27A dengan besaran remisi pertama sejak diusulkan sesuai dengan Pasal 4 Keppres Nomor 174 Tahun 1999.
Remisi sebesar satu bulan bagi narapidana yang menjalani pidananya enam sampai dengan 12 bulan dan remisi sebesar dua bulan bagi narapidana yang menjalani pidananya 12 bulan atau lebih.
"Diharapkan permenkumham yang diterbitkan ini dapat dijadikan sebagai regulasi yang mengatur pemenuhan hak warga binaan pascadikabulkanya sebagian gugatan atas beberapa pasal yang termuat dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 melalui keputusan Mahkamah Agung Nomor 28 P/HUM/2021," kata Rika. [dny]