Tohom menilai bahwa kasus ini tidak hanya menjadi permasalahan lingkungan tetapi juga mencoreng upaya pemerintah dalam menjaga hutan lindung.
“Ini soal kredibilitas pemerintah dan PLN sebagai penyedia layanan publik. Jika listrik disalurkan tanpa persyaratan yang jelas, maka akan ada lebih banyak kasus seperti ini di masa depan. Kita harus menegakkan prinsip tata kelola yang baik,” katanya.
Baca Juga:
Pengelolaan Sampah Jadi Solusi Lingkungan dan Target Bisnis, ALPERKLINAS Apresiasi Pemerintah yang Tetapkan Tarif Listrik Dari PLTSa Sebesar 18-20 Sen Per KWh
Lebih lanjut, Tohom juga mengkritisi sikap pasif pihak terkait yang seakan menunggu bola dalam menangani masalah ini.
“Jangan hanya menunggu keputusan pusat. PLN, pemerintah daerah, dan otoritas terkait harus mengambil langkah cepat untuk memastikan tidak ada lagi listrik yang disalurkan ke bangunan yang berdiri tanpa izin,” tambahnya.
Di sisi lain, Kepala Desa Parbuluan 1, Parihotan Sinaga, menyebutkan bahwa pendirian bangunan di kawasan hutan negara tersebut dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pemerintah desa. Bahkan, KTHW sudah melaporkan kasus ini ke Polda Sumatera Utara, tetapi hingga kini belum ada tindakan konkret.
Baca Juga:
Peduli Terhadap Ketahanan Ekonomi Masyarakat, ALPERKLINAS Minta Kementerian ESDM dan PLN Sosialisasikan Penghematan Pemakaian Listrik
“Kementerian Kehutanan sudah mengecek lokasi pada Desember lalu, tetapi sampai sekarang masih belum ada perkembangan berarti,” ungkap Parihotan.
Tohom yang juga Penasihat DPP Persatuan Artis Batak Indonesia (PARBI), menyinggung pentingnya menjaga warisan budaya Batak yang erat kaitannya dengan kelestarian lingkungan.
“Orang Batak punya filosofi menghormati alam. Jika kawasan hutan dirusak, kita tidak hanya kehilangan lingkungan tetapi juga identitas budaya. Ini harus jadi perhatian kita bersama,” ucapnya dengan penuh penekanan.