Oleh karena itu, kevakuman keanggotaan, apalagi dalam jumlah yang signifikan, akan menimbulkan persoalan legitimasi dan legalitas pengambilan keputusan dalam rapat-rapat dewan, sehingga mengakibatkan kepincangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Oleh karena itu, menurut pemahaman Hakim Konstitusi dalam kasus demikian terdapat dua masalah konstitusional yang harus dipecahkan, yaitu pertama, tidak berfungsinya DPRD menjalankan tugas konstitusionalnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan kedua, terabaikannya hak konstitusional warga negara yang telah memilih para wakilnya dalam pemilu sebelumnya. Karena yang menjadikan caleg tersebut menjadi anggota dewan secara materiil atau substantif bukan partai tetapi warga peserta pemilu.
Baca Juga:
PDI Perjuangan Kalsel Tingkatkan Dukungan Solid untuk Paslon di Pilkada 2024
Oleh karena itu, untuk menjamin tetap tegaknya hak-hak konstitusional tersebut, Mahkamah harus menafsirkan secara konstitusional bersyarat tentang Pasal 16 ayat (3) UU Parpol, sehingga tidak menimbulkan persoalan konstitusional baru sebagai akibat terjadinya kekosongan anggota DPR dan DPRD.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas maka menurut Mahkamah dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian melalui putusan dari permohonan yang diajukan oleh 12 anggota DPRD dari berbagai parpol ini, maka peraturan KPU dan implementasi UU Parpol tidak berlaku bagi anggota DPRD yang pindah partai politik karena partainya tidak lagi menjadi peserta pemilihan umum legislatif (pileg).
KEDUA, putusan MK No. 88/ PUU/XXl/2023 yang mengadili tingkat pertama dan terakhir menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Pasal 193 ayat 2 huruf i, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terhadap UUD 1945.
Pasal tersebut isinya, anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antar waktu menjadi anggota partai politik lain. Dalam amar putusan mengadili mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian; menyatakan Pasal 193 ayat 2 huruf i UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai" dikecualikan bagi anggota DPRD kabupaten/ kota jika:
a. Parpol yang mencalonkan anggota tersebut tidak lagi menjadi peserta pemilu atau kepengurusan parpol tersebut sudah tidak ada lagi.
b. anggota DPRD kabupaten/ kota tidak diberhentikan atau tidak ditarik oleh partai yang mencalonkannya.
c. tidak lagi terdapat calon pengganti yang terdaftar dalam daftar calon tetap dari partai yang mencalonkannya.
Baca Juga:
Terparkir Bertahun-tahun, KPK Klaim Temukan Mobil Harun Masiku
Putusan ini diucapkan Selasa, 31 Oktober 2023. Sementara gugatan tersebut di MK, maka Kementrian Dalam Negeri 2 Agustus 2023 menerbitkan SE No. 100.2.1.4/5387/OTDA tentang Penegasan Kembali Pemberhentian anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota yang mencalonkan diri dari partai politik, butir 4 berbunyi "Adapun anggota DPRD Provinsi, kabupaten, kota yang mencalonkan diri dari partai politik yang berbeda dari partai politik yang diwakili pada pemilu terakhir untuk mengikuti Pemilu pada 2024 dimana parpol yang diwakili pada pemilu terakhir tidak berstatus sebagai parpol peserta pemilu 2024 proses pemberhentiannya mempedomani ketentuan sebagaimana dimaksud dalam putusan MK RI No. 39/PUU-XI/2013 tanggal 31 Mei 2013.
Atas dasar ketentuan ini dikaitkan adanya PAW di Fraksi PDIP Ngada tetap dapat dilakukan PAW karena PDIP masih sebagai peserta pemilu 2024 dan yang mengganti adalah nama-nama caleg di dapil yang sama dengan almarhum pada pemilu kemarin, tetapi faktanya para caleg sudah tidak aktif atau pindah ke partai lain, maka keputusan siapa yang berhak mengisi kursi anggota dewan di DPRD Ngada adalah kewenangan Ketua DPC PDIP Ngada setelah berkonsultasi dengan DPD PDIP NTT dan DPP PDIP. [frs]