WahanaNews-NTT | Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) menyumbang angka tertinggi yang mendominasi pengaduan ke Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRUK) Maumere.
Hal ini diketahui dari penjelasan TRUK Maumere dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 yang disampaikan ibu Lidya, salah satu staf TRUK Maumere saat Konfrensi Pers, Selasa (08/02/2022) di Selter Truk Maumere.
Baca Juga:
KDRT di Paser Kaltim, Suami Mutilasi Istri dan Tunjukin ke Tetangga
Penyampaian Catatan Tahunan ini sebagai agenda rutin tahunan TRUK Maumere menjelang Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 08 Maret.
Dalam catatan tahunan tersebut, TRUK Maumere melalui Ibu Lidya memaparkan angka, motif, modus, trend dan hambatan penanganan yang dilakukan sebagai lembaga layanan dalam menangani kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Sikka dan Ende.
Harapannya, CATAHU ini bisa menjadi sebuah rujukan dalam mengembangkan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta penanganan bagi korban untuk memperoleh hak-hak mereka atas kebenaran, keadilan dan pemulihan, tutur Lidya.
Baca Juga:
Ketua DPW Relawan Martabat Provinsi Jambi Ucapkan Selamat atas Pelantikan Prabowo-Gibran
"Penting untuk dipahami bahwa data yang disajikan dalam CATAHU ini masih berupa indikasi dari puncak gunung es. Data yang terhimpun dalam CATAHU ini terbatas pada laporan korban ke TRUK, tidak termasuk data yang dilaporkan pada lembaga layanan lain," ujar Lidya.
Untuk temuan, Lidya menjelaskan, TRUK mencatat ada 101 korban yang melaporkan kasusnya, dengan rincian, 68 korban anak dan 33 korban perempuan dewasa. Dari 101 korban, 92 diantaranya merupakan pengaduan yang diterima TRUK Maumere dan 9 lainnya yang diterima TRUK Ende.
Sementara itu lanjut Lidya, untuk persentase jumlah pengaduan di tahun 2021 mengalami penurunan 12,87% jika dibandingkan tahun 2020 sebanyak 114 korban. Namun penurunan tersebut tidak menggambarkan fakta kekerasan yang terjadi karena penurunan tersebut tidak signifikan, tambahnya.
Dalam ranah terjadinya kekerasan personal yang mencakup KDRT dan KDP, Lidya menjelaskan bahwa, kedua bentuk kekerasan ini menjadi aduan dengan angka yang paling tinggi yakni 59 orang atau 58,42%.
Ia merincikan, untuk KDRT ada 13 orang istri dan 30 anak yang melapor dan untuk KDP ada 16 orang yang melapor. Posisi perempuan/istri yang belum menikah sah menjadi kendala tersendiri dalam proses hukum, ujar Lidya.
Lebih jauh Lidya mengatakan, korban kekerasan dalam ranah personal, umumnya mengalami kekerasan berlapis dan frekuensi kekerasan lebih dari satu kali. Untuk kekerasan perempuan dewasa termasuk istri, kekerasan psikis dialami oleh 17 orang, kekerasan fisik dialami oleh 16 orang, jelasnya merincikan.
Lanjut Lidya memaparkan, kekerasan seksual dialami oleh 16 orang, 7 diantaranya mengalami perkosaan dalam perkawinan (marital rape) dan kekerasan ekonomi/penelantaran dialami oleh 21 orang.
Untuk korban anak, kekerasan psikis dialami oleh 23 orang, kekerasan fisik dialami oleh 13 orang, kekerasan ekonomi/penelantaran ekonomi dialami oleh 21 orang, kekerasan seksual dialami oleh 17 orang (11 diantaranya hamil), Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dialami oleh 5 orang, tandasnya.
Dia menambahkan, kekerasan di ranah privat merupakan kekerasan yang paling sulit diputuskan dan kecenderungan akan berulang karena adanya relasi kuasa dan ketergantungan korban terhadap pelaku yang cukup tinggi.
Sementara itu, kekerasan terhadap perempuan dan anak di ranah komunitas, dilaporkan oleh 42 korban (41,58%) dengan rincian, 10 korban perempuan dewasa dan 32 korban anak.
Untuk bentuk kekerasan yang dialami korban kata Lidya, beragam yakni, kekerasan psikis 14 orang, kekerasan fisik 2 orang, kekerasan seksual 19 orang, kasus perdagangan orang dialami oleh 18 orang dan kekerasan berbasis online dialami oleh 1 orang, imbuhnya. [dny]