WahanaNews-NTT | Dibalik meriahnya Festival Wolobobo Ngada yang telah dilaksanakan 2 (dua) kali dalam masa kepemimpinan Bupati Andreas Paru dan Wakilnya Raymundus Bena ternyata menyisakan catatan kritis bagi sejumlah warga masyarakat Kabupaten Ngada, khususnya Netizen di Group Facebook.
Bahkan ada yang menilai bahwa Festival Wolobobo itu hanya menghabiskan uang tanpa menjawab kebutuhan rakyat.
Baca Juga:
Pengunjung Mencapai 80 Ribu Orang, Festival Bunga dan Buah Tahun 2024 Resmi Ditutup
Dikutip dari Akun Facebook Ayu Faraningsih dalam Group Ngada Bangkit, Revitalisasi Pasar Inpres atau Ceremonial Yang bersifat hiburan biasa yang dikemas dalam nama keren "FESTIVAL WOLOBOBO"
Uang Dihabiskan dengan Tanpa Menjawab Kebutuhan Rakyat.
"Festival" hanyalah sebuah ceremonial tanpa meninggalkan dampak berarti bagai rakyat, karena apa guna sebuah festival jika UMKM yang merupakan motor penggerak Ekonomi Kreatif tetap mati enggan hidup tak mau.
Baca Juga:
Menjelang Hari H Festival Bunga dan Buah, Bupati Karo Bersama OPD Tinjau Lokasi
Rakyat sedang membutuhkan perputaran uang yang mumpuni dan salah satu jalan agar geliat ekonomi kembali normal adalah revitalisasi pasar inpres yang dialih fungsikan menjadi bangunan tempat menginapnya para hantu.
Sebagai rakyat kecil kita hanya bisa urut dada karena senantiasa disodorkan janji perbaikan ekonomi tetapi tidak satupun kebijakan yang mengarah kepada perbaikan ekonomi malah hanya bermain diranah ceremonial dan pembangunan infrastruktur prestisius yang bahkan bermasalah hukum.
Pemangku kepentingan kehilangan kreativitas dan akademis mereka seperti lumpuh karena mereka enggan berpikir mendalam tentang kondisi rakyat yang memang sedang galau karena resesi.
Telah beberapa kali festival dibuat namun tidak menimbulkan dampak berarti bagi rakyat.
Festival memang penting namun belum saatnya, karena pariwisata Ngada terutama Ekonomi Kreatif (EKRAF) belum kuat dan butuh kebangkitan.
Jika EKRAF sudah bangkit barulah kira laksanakan festival dan sudah tentu dengan adanya festival akan ada investasi-investasi yang bekerja di Kabupaten Ngada. Namun jika festival hanya sekedar pesta menghabiskan uang negara maka sebaiknya dikoreksi lagi.
Tidak peduli dari mana sumber dananya, yang pasti baik itu APBN atau pun APBD, dana itu tetap dari negara yang tujuan akhirnya harus untuk peningkatan ekonomi demi kesejahteraan rakyat.
Untuk itu Pemda harusnya fokus pada goalnya BUKAN pada evorianya.
Goalnya:
- Efektivitas promosi pariwisata dan potensi kopi, tenun dan bambu lewat festival dalam mendatangkan peserta partisipan festival baik peserta lokal maupun mancanegara serta mendatangkan calon calon investor dibidang kopi, bambu dan tenun.
- Sejauh mana keberpihakan program kegiatan dan anggaran pemda sebagai tindak lanjut dari kegiatan promosi dalam bingkai festival untuk memaksimalkan, membudidaya produksi kopi, tenun, bambu.
- Sejauh mana keberpihakan program kegiatan dan anggaran pemda sebagai tindak lanjut dari kegiatan promosi dalam bingkai festival untuk memaksimalkan pengembangan infrastruktur destinasi wisata, baik pada obyek wisata milik daerah maupun obyek wisata yang dikelola berbasiskan kelompok atau komunitas masyarakat.
- Sejauh mana keberpihakan program anggaran pemerintah yang menyasar langsung kepada para praktisi pariwisata, kopi, tenun, bambu dan ekonomi kreatif sebagai bentuk pemberdayaan.
Tiap tahun promosi pariwisata, angkat kopi, bambu dan tenun jadi tema Festival Wolobobo tetapi jika tidak diimbangi dengan dukungan program anggaran yang menyasar para praktisinya sebagai bentuk pemberdayaan, itu omong kosong terwujud.
Buang-Buang Uang
Pesan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada sambutan pembukaan beberapa hari lalu sangat jelas bahwa ketika mereka mengunjungi Bena, di sana ada banyak wisatawan baik domestik mau pun manca negara. Di Festival Wolobobo juga harus bisa hadirkan wisatawan domestik dari luar NTT dan manca negara.
Bukan mewajibkan para ASN, seluruh Camat dan Staf serta pemerintahan desa sekitaran Kota Bajawa untuk menjadi wisatawan pada kegiatan festival sehingga dampak ekonominya tidak ada sama sekali.
Prestasi APRB itu cuma pada taraf pengadaan dan eforia festival saja. Terobosan hasil dari pengadaan dan eforia festival itu kosong. Jadi, bangganya tidak perlu setinggi langit.
Itu akibat lebih senang piara dan duduk dengar kroni-kroni pasukan pesorak yang "rasu tama tuka" dan yang menunggangi efek bupatinya untuk politik Pileg sehingga minim bicara gagasan tentang membuat terobosan pembangunan Ngada pada sektor Tante Nela Paris yang gaung dikumandangkan sejak kampanye hingga saat ini.
Prestasi hanya sebatas pengadaan dan eforia festival bangganya setinggi selangit. Seolah olah dari miliaran rupiah yang dialokasikan ke sektor pertanian sudah mampu membuat Ngada berubah.
Semisal, beras Soa sudah menjadi pasokan beras dolog, pemenuhan kebutuhan bawang dalam daerah tidak lagi ketergantungan dari Bima, seolah-olah Kopi Ngada ini sudah bisa bersaing dengan kopi-kopi kemasan luar yang masuk ke kios atau toko toko di Ngada, dan seterusnya.
Seolah olah anggaran miliaran rupiah yang dialokasikan ke sektor perikanan sudah bisa membendung masuknya ikan mentah dari luar kabupaten. Seolah olah ikan kering sudah tidak dikirim dari Bima. Seolah olah dari kekayaan hasil laut, Ngada sudah memproduksi produk makanan jadi berbahan ikan atau memproduksi pakan ternak berbahan ikan. Atau sudah bisa ekspor ikan seperti Flores Timur.
Seolah olah anggaran miliaran rupiah yang dialokasikan untuk Festival tahun lalu maupun tahun ini sudah bisa mendatangkan peserta partisipan dari Kabupaten tetangga dan Wisatawan Nusantara juga Mancanegara. Seolah olah bangun itu pantai jodoh sudah bisa menghasilkan PAD.
Kalau buat prestasi peningkatan PAD pada sektor pariwisata hanya karena dengan terbitkan Perbup kenaikan harga karcis masuk ke Mengeruda dan Wolobobo, itu tidak perlu berbangga, karena siapa pun yang jadi Bupati pasti bisa lakukan cara itu.
Hingga berita ini diturunkan, Bupati Ngada Andreas Paru belum memberikan tanggapan meskipun sudah dimintai konfirmasi melalui pesan WhattsApp. [frs]