NTT.WahanaNews.co-Sikka| Majelis hakim perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan pelanggaran UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan Petrus Arifin sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas meninggalnya Rodimus Moan Kaka.
Pernyataan tersebut tertuang dalam pertimbangan putusan majelis hakim yang dibacakan dalam sidang putusan perkara TPPO dan pelanggaran UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dengan terdakwa Yuvinus Solo yang digelar di Pengadilan Negeri Maumere, 09/12/2024.
Baca Juga:
Wamen P2MI Minta Masyarakat Waspadai Modus Penipuan Loker Lewat Medsos
Majelis hakim yang diketuai, Nithanael Nasyum Ndaumanu, SH.MH., Hakim Anggota; Mira Herawaty, SH., MH., dan Widyastomo Isworo, SH., dalam pertimbangannya menyatakan, alasan Petrus Arifin harus bertanggung jawab sebab saksi Petrus Arifin yang menandatangani surat menolak rujuk dari dokter Klinik Puskebun PT. BCPA agar Yodimus Moan Kaka yang saat itu sedang sakit dirujuk untuk mendapatkan perawatan lanjutan di rumah sakit di Kalimantan.
Saksi Petrus Arifin sendiri adalah bagian dari 9 orang termasuk Yodimus Moan Kaka (alm) dari dusun Galit, Kecamatan Mapitara, Sikka yang mengaku direkrut oleh Yuvinus Solo untuk bekerja di perkebunan sawit PT Borneo Citra Persada Abadi (BCPA) di Kalimantan.
Usai meninggalnya Yodimus Moan Kaka, Petrus Arifin dan kawan kawan asal Desa Galit ini kemudian dijemput oleh pihak TRUK-F di Kalimantan hingga selanjutnya menjadi saksi dalam persidangan selama ini.
Baca Juga:
Kasus Kerangkeng Manusia, MA Batalkan Vonis Bebas Eks Bupati Langkat
Domi Tukan, SH., selaku kuasa hukum Yuvinus Solo, kepada media, Sabtu, 14/12/2024 menegaskan, bahwa Petrus Arifin adalah orang yang selama ini begitu lantang bernarasi melalui media bahwa akibat perbuatan Yuvinus Solo yang menyebabkan mereka kelaparan selama di Kalimantan hingga Yodimus Moan Kaka meninggal dunia.
“Narasi di media sosial selama ini secara subyektif menyimpulkan dan memberi penghakiman sosial kepada Yuvinus Solo sebagai orang yang menyebabkan Yodimus Moan Kaka meninggal dunia,” ujar Domi Tukan.
Ironisnya lagi kata Domi Tukan, Petrus Arifin yang dalam pertimbangan putusan majelis hakim sebagai orang yang harus bertanggung jawab atas meninggalnya Yodimus Moan Kaka malah mendapat privilege khusus dari negara dan dari pihak pihak yang selama ini bertindak atas nama kemanusiaan.
“Kita berteriak soal kemanusiaan, tetapi kita juga yang memberi privilege kepada orang yang harus bertanggungjawab atas kematian Yodimus Moan Kaka. Dimana nuranimu!” tegasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, bahwa saksi Petrus Arifin dalam keterangannya di persidangan mengatakan, ia menandatangani Surat Menolak Rujuk yang dikeluarkan dr. Didi Yudha Trisandya-dokter Klinik Puskesbun PT. BCPA Rayon-D pada tanggal 24 Maret 2024 tersebut lantaran permintaan dari Yodimus Moan Kaka sendiri dengan alasan kalau ia (Yodimus Moan Kaka) pulang ke kampung, maka ia bisa sembuh, tetapi kalau tetap bertahan maka ia akan mati.
Adapun dalam Surat Menolak Rujuk ke rumah sakit tersebut berisi 5 poin pernyataan yang menjadi tanggungjawab Petrus Arifin selaku orang yang menandatangani surat tersebut tanpa paksaan yakni;
1. Telah diberikan informasi dan penjelasan serta peringatan akan bahaya, resiko serta kemungkinan kemungkinan yang timbul apabila pasien tidak dirujuk ke rumah sakit.
2. Telah saya pahami sepenuhnya penjelasan yang diberikan dokter/bidan/perawat.
3. Atas tanggungjawab dan resiko saya sendiri tetap menolak untuk dirujuk ke rumah sakit.
4. Tujuan, sifat, dan penolakan rujuk ke rumah sakit tersebut diatas telah saya mengerti akan berdampak pada proses penyembuhan, sehingga saya tidak menuntut secara pidana maupun perdata.
5. Dan saya bertanggung jawab penuh atas segala akibat yang mungkin timbul sebagai akibat tidak dirujuk ke rumah sakit.
Saksi Petrus Arifin juga menerangkan bahwa saat keluar dari klinik tersebut, kondisi Yodimus Moan Kaka tidak bisa berjalan sebab masih lemah. Yodimus Moan Kaka hanya bisa bicara. [frs]