WahanaNews-NTT | Ada dua pesan menarik dari ekonom CORE, Pieter Abdullah, dan peneliti sekaligus ekonom Bursa Efek Indonesia (BEI), Poltak Hotradero, dari diskusi bertema "Peluang dan Tantangan Bank Digital" yang digelar Bank Jago.
Pertama, bank digital merupakan keniscayaan kompetitif di industri keuangan.
Baca Juga:
Aksi AKP Dadang Guncang Solok Selatan, Hujani Rumah Dinas Kapolres dengan Tembakan
Narasi ini disampaikan Poltak Hotradero yang menekankan pesan bahwa bukan soal bank siap tidak siap, tapi ini sebuah keharusan.
Bank digital bukan lagi menjadi opsi, tetapi sebuah keharusan, tidak terelakkan.
Begitu perbankan abai atas perubahan ini, maka mereka tinggal menunggu digilas oleh tsunami bank digital.
Baca Juga:
OTT KPK Bengkulu, Calon Gubernur Petahana Dibawa dengan 3 Mobil
Kedua, semua bank akan menjadi digital pada waktunya.
Asumsi ini dipaparkan Pieter Abdullah yang menegaskan di masa depan konsep bank itu semua bermuara pada digital.
Dengan begitu, kata Piter, tidak ada lagi konsepsi khusus bank konvensional atau bank digital.
Karena semua bank akan bertransformasi menjadi bank digital.
Semua bank, ya bank digital.
Derap digitalisasi layanan perbankan bak bola salju yang terus membesar.
Sejumlah indikator menunjukkan betapa kuatnya perubahan terjadi di masyarakat kita saat ini.
Sebut saja, habit (kebiasaan) masyarakat sudah berubah.
Pandemi semakin menguatkan habit baru ini.
Masyarakat kini mengandalkan telepon cerdas (smartphone) mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kebiasaan ini mencakup pemenuhan kebutuhan membeli makanan, naik kendaraan, investasi, hingga kebutuhan layanan perbankan.
Secara statistik, tren pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan platform ponsel pintar ini terus naik.
Indikator lainnya, tranformasi teknologi ponsel dan internet makin memudahkan masyarakat mengakses internet dari tempat terpencil sekalipun.
Masyakarat yang tadinya terisolasi dari layanan keuangan dan tidak memiliki akses ke bank, kini dengan bermodalkan ponsel dan ketikan jari, mereka sudah bisa tersambung dengan berbagai layanan digital.
Jumlah ponsel yang dimiliki warga Indonesia mencapai 355 juta di mana 60 persen di antaranya merupakan ponsel pintar.
Ada 170 juta orang Indonesia aktif berselancar di internet dengan segala keanekaragamannnya --dari yang sekadar mencari hiburan, mengeksplorasi informasi, bermain game, hingga menggunakan layanan keuangan.
Bahkan, di Korea Selatan, aset bank digital, Kakao Bank, sudah melebihi aset bank terbesar, Korea Bank.
Jika aset Kakao Bank sudah 22 miliar dolar AS, maka KB masih 19 miliar dolar AS.
Kini, Kakao Bank menjadi bank dengan aset terbesar di Korea Selatan.
Indikasi-indikasi ini menjadi catatan penting betapa telah terjadi pergeseran kuat kebiasaan publik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan memanfaatkan teknologi ponsel dan internet.
Tak heran jika ekonom Pieter Abdullah dan Poltak Hotdratero memberikan asumsi jelas bahwa di masa depan semua bank akan menjadi bank digital dengan sendirinya.
Kantor-kantor cabang bank akan banyak yang hilang.
Masyarakat sudah tidak lagi berminat mendatangi kantor-kantor bank.
Kemudahan menjadi kunci beriringan dengan jaminan keamanan transaksi dan data.
Pesan senada disampaikan Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Heru Kristiyana, baru-baru ini.
Heru menyatakan, bank digital bukan lagi menyangkut kesiapan, tetapi menjadi keharusan perbankan untuk tetap tumbuh dan berkembang.
Dalam memberikan arahan terkait layanan bank digital ini, OJK menerbitkan dua POJK baru di sektor perbankan.
Keduanya, POJK 12/2021 tentang Bank Umum dan POJK 13/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum.
Heru menjelaskan, pada dasarnya POJK mengenai Bank Umum tidak memberikan beban baru kepada perbankan, tetapi justru akan memberikan landasan lebih baik kepada perbankan di tengah pandemi agar perbankan dapat mengakselerasi bank digital.
POJK tersebut juga mempertegas pengertian mengenai bank digital.
POJK 12/2021 dibuat untuk mensinergikan antara bank induk dan anak, antara bank induk dan bank syariahnya atau dengan UUS sehingga bank akan menjadi kuat dan mengarah ke akselerasi konsolidasi.
Nasib Bank Konvensional?
Pertanyaannya kemudian, bagaimana nasib bank-bank konvensional sekarang?
Apakah mereka tetap bertahan atau tergerus tsunami bank digital?
Pieter menegaskan, hanya bank yang visioner yang akan jadi pemenang dalam persaingan di era digital ini.
Menurut Piter, tidak ada jaminan bank yang sudah besar saat ini kemudian akan muncul sebagai pemenang di masa depan.
Bank-bank konvensional saat ini bisa bertahan dan menang atau bisa kalah.
Dalam kompetisi bank digitial, garis start-nya sudah dimulai dan tidak ada yang tahu pihak mana yang akan memenangkan pertarungan ini.
"Mereka (bank-bank konvensional) jika ingin bertahan dan berkembang, maka harus berubah, beradaptasi secara digital," kata Piter.
Ia memberi catatan perbandingan pola persaingan perbankan di masa lalu dan kini.
Faktor keunggulan persaingan bank sebelum era digital terletak pada transaksi perbankan dan program pemerintah.
Kemudian, faktor keunggulan itu bergeser kepada bank dengan jumlah kantor cabang yang banyak dan punya mesin ATM yang banyak.
Di era digital, faktor keunggulan persaingan perbankan ada pada ekosistem digital.
Kemunculan bank-bank digital baru, menjadi tantangan besar bagi bank besar.
Bank Jago masuk bank yang mengandalkan ekosistem pada pola bisnisnya.
Poltak memberikan pandangan tidak berbeda dengan Piter soal masa depan bank konvensional.
Kata dia, bank konvensional yang kompetitif dan beradaptasi tetap bisa bertahan dan bisa jadi pemenang.
Bank-bank konvensional harus bergerak cepat dengan memberikan layanan digital atau memiliki bank digital seperti BRI Agro atau BCA.
Polanya, bisa memperkuat layanan digital, membentuk usaha bank digital, atau membeli bank lain untuk dijadikan bank digital.
Derap cepat bank digital pun dirasakan di sejumlah negara di Asia, Amerika, Eropa, hingga benua Amerika.
Di Brazil, NU Bank kini menjadi salah satu kekuatan bank digital yang sangat diperhitungkan.
Layanannnya pun beragam.
Juga di Inggris, Bank Revolut menjelma sebagai bank yang layak diperhitungkan yang asetnya sudah melebihi bank nasional Inggris, Natwest.
Di China, Webank telah menjelma sebagai salah satu bank terbesar.
Di Indonesia, bank-bank besar pun melakukan berbagai aksi korporasi untuk menjawab tantangan disrupsi teknologi ini.
BRI, misalnya, menjadikan BRI Agro sebagai bank digital mereka.
BCA pun membangun BCA Digital, sementara Bank DBS makin berjaya dengan Digibank-nya.
Belum lagi, muncul bank-bank digital yang memang sengaja dibentuk sebagai entitas baru seperti Bank Jago.
Ekonom Indef, Nailul Huda, menyebut, bank digital secara umum terbagi ke dalam dua jenis.
Pertama, bank digital yang dilahirkan murni dari perbankan yang sudah eksis.
Kedua, bank digital yang dimunculkan murni dari perkawinan perusahaan teknologi dan industri perbankan.
BCA Digital, BRI Agro, Jenius BTPN, Digibank masuk ke dalam kategori pertama.
Sementara Bank Jago, Sea Bank, Line Bank, dan lainnya masuk kategori bank yang dilahirkan dari perusahaan teknologi digital.
Contoh Kasus Bank Jago
Bank Jago boleh dikatakan menjadi pionir bank digital di Indonesia.
Ketika bank-bank lain masih sibuk dengan layanan digital (digital banking), maka Bank Jago sudah mencuri start dengan menjalankan fungsinya sebagai bank digital.
Dirut Bank Jago, Kharim Siregar, mengatakan, kunci bisnis Bank Jago ada pada ekosistem dan perluasan basis nasabah.
Dengan basis nasabah yang besar, kata Kharim, bank memiliki big data dan menganalisisnya untuk kepentingan bisnis.
Pada kuartal III 2021, Bank Jago membukukan laba bersih sebesar Rp 14 miliar setelah enam tahun mencatat kerugian.
Sampai akhir September 2021, Bank Jago menyalurkan kredit sebesar Rp 3,73 triliun atau melonjak 502 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Kharim menilai, persentase kenaikan penyaluran kredit terkesan tinggi karena berangkat dari garis dasar atau baseline yang rendah.
Pendapatan bunga Bank Jago sebesar 478 persen, menjadi Rp 355 miliar.
Dari catatan kinerja ini dapat terlihat ada tren positif bagi perkembangan industri bank digital ke depannya.
Belum lagi catatan kinerja saham-saham bank digital pun cukup menjanjikan.
Memang, bank-bank digital menghadapi tantangan serius untuk bisa terus bergerak dengan risiko-risiko yang ada di depan mata mereka.
Tantangan-tantangan itu antara lain, pertama, bank digital butuh SDM mumpuni terutama dari sisi ahli teknologi.
Kedua, bank digital harus terus meluaskan basis dan jumlah nasabahnya.
Semakin besar nasabah, semakin bagus bagi bank digital.
Ketiga, nasabah yang banyak tidak cukup.
Bank digital harus mampu mendorong nasabah-nasabah ini aktif bertransaksi.
Akan menjadi kemubaziran jika nasabah banyak, namun minim transaksi.
Keempat, ekosistem menjadi sangat penting selain merangkul nasabah-nasabah individu.
Beberapa contoh sukses bank digital terletak pada kemampuan mereka mengelola dan memperkuat ekosistem.
Kelima, dukungan modal tentu menjadi tak terhindarkan.
Modal yang kuat bisa mempermudah bank digital melakukan penetrasi dan menjaga ekosistem.
Keenam, isu keamanan data dan transaksi menjadi utama.
Bisnis bank adalah bisnis kepercayaan dan keamanan data menjadi sangat krusial.
Dan ketujuh, kemampuan mengelola manajemen risiko ikut menjadi penentu mampu tidaknya bank-bank digital menjawab tantangan-tantangan di atas.
Akhir kata, bisa jadi benar, pada masa depan --10 tahun dari sekarang, bahkan bisa 5 tahun lagi-- semua akan menjadi bank digital pada waktunya.
Kita lihat saja… [non]