WahanaNews-NTT | Ketua Umum Ikatan Paguyuban Flotirosa (IPF) NTT, Neftalis menilai bahwa pernyataan Ibu Rambu Keleri Emu sungguh tidak merawat persatuan di NTT.
Hal ini disampaikan Neftalis usai adanya pernyataan yang menyebutkan bahwa orang Flores di jaman mantan Gubernur NTT 2 periode, Frans Lebu Raya merupakan pencuri ceke makan sampai muntah, maling dan pada praktiknya mencuri dan merampok uang rakyat.
Baca Juga:
Bawaslu Kalsel Galang Komitmen Tokoh Agama Awasi Pilkada 2024 Tanpa Politisi SARA
Melalui rilis yang diterima WahanaNews.co, Neftalis menjelaskan, SARA selalu menjadi hal yang sensitif di Indonesia. Banyak kasus yang kemudian diseret ke isu SARA. "Isu Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan menjadi ancaman besar untuk kita sekalian," pungkas Neftalis.
Neftalis menyatakan bahwa pernyataan dari Istri Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi NTT, (Ondy Christian Siagian, SE. M.Si), tersebut telah melanggar Nilai persatuan yang ada di NTT bahkan di Indonesia.
Menurut dia bahwa pernyataan tersebut juga telah menimbulkan perpecahan dan terkesan mengadu domba, Intoleransi terhadap keberagaman suku, ras, budaya, bahasa.
Baca Juga:
Bawaslu Mukomuko Buka 16 Posko Pengaduan Pelanggaran Kampanye Pilkada 2024
"Ini juga merupakan Perilaku yang Melanggar Nilai Keadilan Menghalangi orang lain untuk mendapat penghidupan yang layak sesuai dengan amanat UUD 1945 dalam setiap lini kehidupan," ujar Neftalis menambahkan.
Bersikap sewenang-wenang terhadap sesama. Tidak menghormati dan menghargai hak orang lain. SARA berpotensi memecah belah masyarakat yang bersifat majemuk seperti di NTT.
SARA juga merupakan akronim dari Suku Ras Agama dan Antar golongan. SARA pandangan ataupun tindakan yang didasari dengan pikiran sentimen mengenai identitas diri yang menyangkut keturunan, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Yang digolongkan sebagai sebuah tindakan SARA segala macam bentuk tindakan baik itu verbal maupun nonverbal yang didasarkan pada pandangan sentimen tentang identitas diri atau golongan.
SARA dapat digolongkan menjadi beberapa kategori, Pertama, Individual. Di mana tindakan SARA dilakukan oleh individu atau golongan dengan tindakan yang bersifat menyerang, melecehkan, mendiskriminasi, atau menghina golongan lainnya. Kedua, Institusional.
Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan oleh institusi atau pemerintah melalui aturan atau kebijakan yang bersifat diskriminatif bagi suatu golongan. Ketiga, Kultural. SARA yang dikatagorikan di sini adalah tindakan penyebaran tradisi atau ide-ide yang bersifat diskriminatif antar golongan.
Dampak dari pernyataan ibu Rambu Keleri Emu ini juga bisa konflik antar golongan yang dapat menimbulkan kebencian dan berujung pada perpecahan.
Saya mengambil Contohnya pada kasus konflik Tragedi Sampit yang terjadi pada 2001 silam. Konflik ini terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura di mana SARA adalah biang dari masalahnya.
Menurut saya pernyataan ibu Rambu Keleri Emu dinilai gagal dalam beradaptasi dengan berbagia suku yang ada di NTT sehingga muncullah diskriminasi antar golongan. Kasus SARA seperti ini yang cukup menggemparkan public dan pernyataan ini ternyata telah menyinggung masyarakat Flores dan mencemarkan nama baik mantan gubernur NTT, Frans Lebu Raya. [frs]