WahanaNews-NTT | Dialog yang setara dan bermartabat diperlukan untuk menyelesaikan konflik terkait pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo. Hal ini terungkap dari diskusi bertajuk 'Pengakuan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Bagi Masyarakat Adat di Indonesia' di Rendu Butowe, Negekeo pada Senin (13/6/2022) lalu.
Para diskusi yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) dan Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) sepakat melaksanakan dialog. Diskusi dilaksanakan untuk merespon konflik terkait Pembangunan Waduk Lambo/Bendungan Mbay antara masyarakat adat dengan masyarakat adat serta antara masyarakat adat dengan pemerintah.
Baca Juga:
Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Distik Konda, LP3BH Manokwari Apresiasi Bupati Sorong Selatan
"Kami meyakini dengan dialog kami bisa menjaga persaudaraan kami terus berlanjut. Kami yakin dengan dialog kami bisa membantu negara bekerja lebih baik. Dengan dialog kami bisa membantu negara melindungi, menjaga dan memenuhi hak asasi kami sebagai manusia," demikian penegasan Koordinator PPMAN Region Bali Nusra, Anton Johanis Bala dalam pres release pada Sabtu (18/6/2022).
Kesepakatan untuk berdiolag itu sendiri diungkapkan oleh sebagian besar anggota komunitas dan tokoh adat yang hadir dalam dialog tersebut.
Kepala Desa Labolewa yang juga fungsionaris adat Lambo, Marselinus Lado mengingatkan warga terdampak Proyek Strategis Nasional mengenai filosofi Kolo Sa Toko, Tali Sa Tebu, To'o Jogho Waga Sama. Filosofi tersebut bermakna
Baca Juga:
Pemkab Sorong Selatan Resmi Mengakui Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Distik Konda
"Terima kasih kepada Bapa Ibu narasumber yang sudah menyampaikan beberapa hal kepada kami yang sangat penting. Kami orang Rendu, Lambo dan Ndora semuanya adalah satu keluarga. Kami minta buka ruang komunikasi, agar semua yang terjadi kemarin bisa diselesaikan melalui mediasi yang ujungnya adalah rekonsiliasi," tegasnya.
Tokoh adat Rendu, Matheus Tebu juga menginginkan dialog.
"Kami setuju ada dialog. Tetapi kami ingin sebelum dialog, seluruh aktifitas di lapangan dapat dihentikan sementara," tegasnya. Ia mengingatkan semua masyarakat adat untuk bersyukur pada leluhur yang telah mewariskan tanah Ulayat kepada masyarakat adat.
Sementara itu, tokoh perempuan adat, Hermina Mawa menginginkan Pemda Nagekeo terlibat dalam dialog. "Saya bertemu Pak Bupati, tetapi Bupati bilang mama pulang, pembangunan jalan terus," terangnya.
Hal senada disampaikan oleh Servas Paga dari Lambo. Menurutnya semua pihak harus kritis terhadap diri sendiri baik itu masyarakat adat maupun negara.
Dirinya mendesak Pemda Nagekeo agar turut berperan.
"Pemda sampai saat ini belum pernah ambil bagian terhadap saudara-saudara saya bagaimana relokasi terhadap mereka. Sementara, saudara-saudara mau kemana? Di situ orang punya, di sana orang punya, mereka mau kemana?" tegasnya.
Diskusi tersebut dihadiri oleh masyarakat adat terdampak pembangunan waduk.
Diskusi menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Wakil Ketua Komnas HAM, Munafrizal Manan, Wakil Ketua Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, dan Ditjen KMA Dirjen Kebudayaan, Syamsul Hadi. Pembicara lainnya adalah Deputi II PB AMAN, Erasmus Cahyadi, dan aktifis perempuan asal Flores, Selviana Yolanda serta Kabid Propam Polda NTT, Dominicus Savio Yempormase.
Selain menyepakati adanya dialog, masyarakat adat juga memutuskan apa yang akan dibahas dan siapa saja yang harus dilibatkan.
Ada tiga pihak yang akan menjadi mediator yakni Komnas HAM, Ditjen KMA Dirjen Kebudayaan dan Ombudsman.
Selain itu ada sejumlah isu yang akan dibahas yakni isu akan dibahas yakni terkait dampak positif dan negatif pembangunan waduk, rekognisi atau pengakuan hak, dan rekonstruksi sosial budaya pasca waduk.
Sementara itu, pihak Polres Nagekeo diminta menjadi penjaga Kamtibmas yang memastikan dialog nantinya berlangsung aman dan menghasilkan keputusan yang tepat bagi masyarakat adat. [frs]