WahanaNews-NTT | Ketua Keluarga Besar Putra Putri (KBPP) Polri Resor Sikka, dr. FX. Lameng, MM mengatakan bahwa tidak sepantasnya Ferdi Sambo divonis hukuman mati oleh Ketua Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas kasus kematian yang menimpa Brigadir Josua Hutabarat.
Menurut pria yang biasa disapa dokter Kus Lameng ini, vonis hukuman mati yang ditujukan kepada Ferdi Sambo terlalu berlebihan. Hakim tampaknya tidak bisa melepaskan diri dari tekanan publik yang gencar melalui pemberitaan yang sangat masif.
Baca Juga:
Kasus Penganiayaan David Ozora, AG Dituntut Pidana 4 Tahun
"Menurut saya, FS tidak sepantasnya dihukum mati. Ini terlalu berlebihan. Hakim tampaknya tidak bisa melepaskan diri dari tekanan publik yang gencar melalui pemberitaan yang sangat masif." ujarnya kepada WahanaNews-NTT.co, Selasa (14/02/2023) di Maumere.
Dokter Kus mengatakan, perbuatan FS membunuh J karena luapan emosi (mengira istrinya diperkosa), namun tidak ada unsur sadistis. Korban tidaklah disiksa sebelum dibunuh. Ini juga bukan serial killer, pungkasnya.
Lebih lanjut Ia menuturkan, sesungguhnya ini pembunuhan yang biasa terjadi, bedanya pelaku adalah seorang Jenderal. Dengan status sosial tinggi. Dan masyarakat langsung heboh. "Harusnya hukuman lebih objektif. Apalagi hukuman mati di banyak negara sudah ditiadakan. Hukuman mati seolah-olah orang yang kilaf , salah, tidak diberi kesempatan untuk berubah," ketus Dokter Kus Lameng.
Baca Juga:
Jatuhi Vonis Mati Sambo dan Hukuman Ringan ke Bharada E, Hakim Wahyu Dielu-elukan Masyarakat
Sebelumnya diberitakan bahwa, Wahyu Imam Santoso, Hakim Ketua sidang Ferdi Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menyimpulkan terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), Ferdi Sambo turut menembak Brigadir J.
"Majelis Hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah melakukan penembakan terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan menggunakan senjata api jenis Glock, yang pada waktu itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan sarung tangan," ujar Wahyu Iman Santoso dalam sidang pembacaan putusan terhadap Ferdy Sambo, di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023), melansir dari Antara.
Wahyu Imam Santoso, Ketua Majelis Hakim PN Jaksel yang mengadili Ferdi Sambo, terdakwa pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. (Foto: Istimewa)
Majelis hakim memperoleh keyakinan tersebut berdasarkan keterangan Ferdy Sambo yang menjelaskan momen sebelum Sambo menciptakan skenario tembak-menembak, serta kesaksian mantan ajudan Sambo, Adzan Romer, yang menyatakan bahwa ia melihat Sambo menjatuhkan senjata jenis HS yang kemudian dimasukkannya ke dalam saku kanan celana pakaian dinas lapangan (PDL) Sambo dan mengenakan sarung tangan hitam.
Keyakinan hakim juga diperkuat dengan kesaksian Mantan Kasubnit 1 Reskrimum Polres Metro Jakarta Selatan Rifaizal Samual yang menyebut Sambo membawa senjata api di dalam holster yang ada di pinggang sebelah kanan Sambo pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP), serta kesaksian Richard Eliezer atau Bharada E.
Selain keterangan Sambo dan sejumlah saksi, kesimpulan Majelis Hakim tersebut juga didasari oleh keterangan sejumlah ahli yang dihadirkan di muka persidangan silam.
Salah satunya, keterangan Ahli Pemeriksa Forensik Muda Fira Samia yang menyatakan bahwa penggunaan sarung tangan dapat mencegah tertinggalnya DNA dalam barang.
Padahal, menurut Fira Samia, pihaknya hanya dapat mengidentifikasi sidik jari Brigadir J pada senjata HS tersebut.
Selain itu, Majelis Hakim juga mempertimbangkan keterangan Ahli Forensik dan Medikolegal Farah Primadani yang menyatakan ada tujuh luka tembak masuk dan enam luka tembak keluar di tubuh jenazah Brigadir J.
Dengan demikian, menurut Hakim, ada tujuh tembakan yang masuk pada tubuh Brigadir J. Sementara itu, senjata milik Bharada E yang hanya berkapasitas maksimal 17 peluru serta tak pernah diisi maksimal, masih menyisakan sebanyak 12 peluru.
"Maka dapat disimpulkan, adanya dua atau tiga perkenaan tembakan yang bukan merupakan perbuatan Saksi Richard," ujar Wahyu Iman Santoso. [frs]